Pagi-pagi aku
sudah terkulai lemas di bangku sekolah setelah berdebat dengan anak-anak yang
sok hebat. Hasilnya membuatku susah untuk mengeluarkan nafas secara teratur. Parahnya
lagi berakibat penusukan langsung ke dalam hati dan terus melahirkan renungan
deras dalam hati. Ya, aku benar-benar
kehilangan gairah, lemas sambil menguncupkan dada.
“Aku bukan anak manja !!”. Teriakku tertuju pada daun-daun telinga yang ada di belakangku. Daun-daun telinga panjang mirip telinga para Hobbit dalam cerita Lord of The Ring. Telinga itu sepertinya kurang sesuai dengan wajah yang sebenarnya tampan. Dan kuakui wajah itu juga sering dijadikan headline gosip bagi kaum perempuan di lingkungan sekolah.
Aku berlari
menjauhi sumber masalah tadi untuk melepaskan energi negatif yang kudapatkan
atas insiden itu. Insiden yang baru saja kualami di gang sekolah tepat
disebelah ruang kelasku. Pertama kali berada di gang itu langsung membuatku
mengalami insiden yang jarang kutemui. Gang itu sepertinya harus di beri rambu-rambu
peringatan waspadalah atau awas terkena buli galak. Ya, tempat itu
sering kali digunakan untuk meluapkan bermacam bahan olokan dan hinaan dari
mereka yang sering mengerjai santri-santri cupu atau biasa disebut culun.
***
Aku bersekolah
di salah satu pesantren yang populer dengan ajaran keislamannya, Pesantren yang
bernama Darul Wustha di salah satu desa di kabupaten Aceh Besar. Sebenarnya aku
mengakui bila ajaran islam di sekolahku itu memang sangat kental. Namun semua
pandanganku pada sekolah ini kadang berubah ke arah berlawanan setiap kali melihat
kejadian yang tak wajar dari anak-anak senonoh seperti tadi, kejadian lainnya
seperti mengotori ruang wudhu atau tempat bilas, melawan ustadz atau guru, sampai-sampai
mereka menggoda santriwati melewati batas-batas yang selapis dengan kemaksiatan.
Sebelum
peristiwa-peristiwa itu kujumpai, Aku masih sangat menikmati hari-hariku dimana
aku suka melamunkan kenangan indah masa lalu. Selain itu juga, seringkali saat
aku pergi keluar lingkungan pagar pesantren, Aku tertegun melihat beragam
kehidupan yang tidak seberuntung aku, saat mata tertuju pada arah pinggiran di
jalanan. Banyak perbedaan dan kesenjangan antara hampir semua masyarakat di
sini. Pandanganku terfokuskan pada puluhan tukang tempel ban, ramainya tukang
sapu jalan, dan beberapa lainnya yang membuat rasa iba dan rasa syukurku atas
rezeki yang sudah lebih dari cukup bagi keluarga.
***
Biasanya saat jam
istirahat sekolah, aku sering berada di dalam kelas menunggu sampai bel berbunyi.
Baru beberapa kali aku pergi kekantin dan membeli snack serta air minum lalu
membawanya ke dalam ruang kelas. Terakhir kali aku mengurungkan niat bersemedi
di dalam kelas untuk beranjak pergi ke kantin, aku mengalami peristiwa yang
belum pernah terjadi.
Saat itu aku
sedang jalan dan kebetulan bersampingan dengan salah satu anak populer di
pesantren ini. Namanya Salim. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ia
mencoba sok akrab denganku, merangkulku dan membawaku menelusuri suramnya gang
sekolah. Padahal aku berencana masuk ke dalam kelas dan mencari tempat nyaman
buat belajar atau baca buku pelajaran favoritku, matematika.
“Badar, Betul
kan itu namamu?”. Salim langsung
meletakkan tangannya mengitari pundakku
“Iya.”. Aku menjawab seadanya.
“Nama aku Salim”.
“Iya Aku tahu, kamu populer disini”. Aku memaksakan diri untuk memujinya.
“Oh, bagus kalau kamu tahu. Aku juga tahu kamu pasti senang bisa berteman denganku kan?”. Salim berbicara dengan luar biasa pede-nya .
Saat itu belum
ada kata gaul seperti ember mana ember,
jadi aku mencoba berekspresi seperti ingin muntah Bruuueekk. Itu pun sudah sangat keren di masa-masa sekolah dulu, di
awal tahun 2005 lalu.
Kira-kira
seperti itulah awal pertama aku mengobrol dengannya.
Selanjutnya di
gang sempit itu Salim bertanya dan bercerita tentang hal-hal yang ada di luar
jangkauan pikiranku, bertolakan dengan lingkungan kewajaran atau disebut bad society. Dari mulai merokok, pacaran,
keluar malam, sampai hobi main gamenya di lantai dasar swalayan termegah di
pusat kota Banda Aceh.
Benar-benar baru
kutahu ternyata lingkungan sosial di pesantren ini sudah rentan akan hal-hal over lebay –melebih tahap kewajaran- semacam
itu.
aku semakin mual
dan ingin menghentikan pembicaraan ini. Aku pun memotong pembicaraannya,
seketika Salim mengeluarkan ekspresi wajah sedikit sedih. Mungkin karena
ceritanya yang belum masuk ke paragraf kedua. Padahal cerita di paragraf satu saja
sudah bisa dijilid kalau Salim mau menuliskannya.
“Lim, asal kamu
tahu ya, aku itu kalau keluar rumah cuma sampai sore. Itu pun kadang hanya sampai
halaman depan rumah saja.”
Tiba-tiba Salim tertawa
luar biasa membahana akibat statementku yang mirip seperti sebait curhatan, seketika
beberapa jajaran santri nakal lain pun datang dan mulai mengitari Salim lalu
bertanya, “Ada lelucon apa lim?”. Mereka mulai mengekspresikan perubahan wajah
yang sudah dapat kutebak ending-nya
bagaimana.
Mereka pun ikut
menertawakanku sambil mengatakan “Ooo. Rupanya Badar ini anak manja. Huahahahaha”,
mereka meloncat-loncat seperti sedang show topeng monyet dan mengitariku sambil
mengacak-acak rambutku. Rambut yang rapi dan membelah ke arah samping menuju
sisi kiri seketika berubah menjadi semak-semak hitam yang berkilat.
Saat itulah aku berlari menuju kelas tanpa mempedulikan mereka, Salim mencoba menahanku sambil tertawa terkikih. Aku menggeserkan badannya dan menekan gas kakiku di atas tanah. Lalu Aku memalingkan wajah ke arah mereka dan berteriak dari jauh mengatakan “Aku Bukan Anak Manja!!”.
0 komentar:
Posting Komentar