Popular Post
Loading...
Minggu, 22 Februari 2015

Mission Clear Mommy! - Latepost Short Story

16.39

Rumah ini seringkali sepi. Sepertinya duniaku bukanlah di sini. Aku ingin menjelajahi dunia luar seperti yang ada dalam serial fantasi.

“My, Doni mau keluar sebentar ya”

“Enggak boleh Doni. Sebaiknya jaga rumah, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?”

Keesokan harinya......

“My, aku mau keluar. Rumah ini pasti aman kok My”

“Enggak boleh Don, kamu harus jaga rumah”

Beberapa hari selanjutnya..

“Mommy!!! I wanna go outside!! I feel like i’m dying in here”

“Enggak boleh!! Eh, kamu ngomong apa tadi Doni?”

Aku adalah seorang anak yang penuh imajinasi. Kalau aku ingin pergi menemukan tempat yang rekomendit, jelaslah tempat itu seperti di dalam film-film hollywood. Contohnya nih ya, aku suka bila berada di hutan kayak di dalam film thriller yang settingnya alam,  aku suka berada di tengah air nan dalam, kalau bukan sungai ya pastinya laut, seperti dalam film ikan raksasa atau hewan predator yang suka menyerang manusia di sana. Itu semua kupikirkan karena emang wajahku yang tak luput dari kemiripan si mas Jhony Deep atau om Tom Cruise.

Saat umurku 13 tahun, aku pun telah masuk ke dalam beberapa dunia khayalan baru, bimbingan orang tua, dewasa, atau bahkan unsensored. Suatu hari, aku ingin pergi ke dunia ntah berantah, apakah itu di gang sekolah, warung remang, pemandian bola, atau ke tempat-tempat seperti yang ada dalam film-film gengster. Saat udah siap dengan sepatu baru, pakaian baru, dan parfum baru, Argghhh, Mommy tetap menyuruhku selalu tinggal di rumah.

“Doni, kalau bukan kita siapa lagi yang harus menjaga rumah ini? Itu kambing seringkali masuk makan bunga-bunga. Kalau bukan Doni siapa lagi yang kambing takuti?”

“My, emangnya Doni pawang kambing apa?”

“Doni!!!” Semprotan Mommy mengeluarkan hawa panas sambil membengkakkan bola matanya.

Alasan lainnya pun bermacam-macam, jaga adik lah, jaga cucian, jaga kucing, jaga kambing, sampai jaga sepatu-sepatu bermerek yang berjajar bak puluhan prajurit majapahit. Aku yang rapuh akan semburan dari mulut Mommy ini, selalu mengalah berada di bawah keteknya.

Selanjutnya, aku hanya berdiam diri di ruang TV dan kembali dengan pulpen ditemani sebuah kertas gambar. Aku mulai menggambar apa saja yang ada dalam khayalanku. Kepala Son Goku dan Conan adalah favoritku saat itu. Aku juga ikut menggambar musuh-musuh mereka. Dalam pikiranku tercipta suatu alibi kasus yang harus dipecahkan. Mulai dari anak hilang, perampokan, sampai kasus nolongin kucing tersangkut di pohon,..biasalah, wong anak umur 13 tahun.

Sebelum bulu ketek Son Goku selesai dengan sempurna, aku mendengar bunyi kaca pecah dari arah dapur. Sigap aku megangin pulpen dengan cara berbeda, seolah siap untuk mengarahkan mata pulpen ke mata seseorang, seperti di film-film, mata dibalas mata. Pertama terbayang olehku, seorang penyusup membobol pintu masuk dapur dan ingin mencuri beberapa perhiasan di sana, seperti gelas kristal atau mungkin juga piring nasi yang telah dicuci Mommy. Kakiku kini melangkah dengan hati-hati.

“Siapa di sana?” Tanyaku yang disambut dengan beberapa suara pecahan kaca.


“Meeeaaawwww”














“Dasar ternyata si kucing nakal, sini kamu!” Aku memaki-maki kucing hitam kesayangan adik perempuan. Ntah kenapa ia bisa suka sama tuh kucing yang warnanya mirip punyaemily and stranger. Anehnya, kalau adikku ada di rumah, kucing itu selalu bertingkah seperti kucing-kucing berprestasi, atau barangkali, pernah menjadi kandidat pergantian kucing antar negara. Sebaliknya, jika keduanya berpisah bertautan jarak, eh, si kucing kerasukan setan.

Mataku melongok melihat piring dan gelas berhamburan pecah, lalu aku mengambil sapu dan si kucing pun berlari dengan lincah ke sana kemari. Ia mulai meloncat dan menyusup ke kolong meja, lalu berlari lagi ke arah tangga. Aku mengubernya dengan susah payah sampai kakiku tersenggol dengan kaki kursi kayu, “Aadddaaawww”. Ini adalah momen dramatis sepanjang hidupku dimana ujung kuku bersikuan dengan kaki kursi kayu tajam.

“Kucing sialan!!!”

Si kucing sekejap berhenti di bordes tangga dan menoreh senyum ke arahku. Ia terlihat tertawa kecil, Tiing, silau gigi taringnya ikut menambah penderitaanku. “Meeaaaawwww” celotehnya lagi dibarengi ekor yang melibas-libas.



Aku bangun sambil melepas genggaman dari jempol kaki, lalu menaiki anak tangga dan menguber si kucing lagi dan lagi. Kucing itu meloncati dua anak tangga sekaligus. Aku coba mengikuti gayanya namun kakiku ini melemah karena kejadian nahas tadi, sial betul. Aku malah kembali terjatuh dan terbentur tiap sudut anak tangga, terguling ke bawahnya. Setelah itu, aku mengeluarkan seluruh tenaga, bangun lagi dan lagi, untuk bisa meraih anak tangga satu persatu.

Kucing itu sudah tak terlihat. Aku masuk ke dalam kamar, melihat ke arah kain gorden jendela yang melayang terbawa angin. Ternyata kucing hitam itu telah kabur melewati jendela yang terbuka. Aku buka jendela dan melihat ke arah luar.

“Semoga saja si kucing loncat ke bawah hingga jatuh ke parit” Aku bergumam dengan wajah sinis.

Langit begitu hitam. Awan-awan mulai terlihat menggepul. Sesekali bunyi geleduk dan dibarengi cahaya petir. Tiba-tiba....

“Mbeeeeekkkkk.. Mbeeekkkk” terdengar paduan suara milik musuh terbesar Mommy. Ya, suara kambing yang kembali membuat hatiku geram.

“Hussssss... Hussssss...” Perintahku pada kambing-kambing setiba di perkarangan bunga dan melihat mereka.

Ternyata oh ternyataaa, si kucing berada di antara mereka sedang berbisik genit dengan si ketua kambing. Sontak aku kaget, “Hey kucing nakal! sini kamu!” Lalu si kucing berlari ke luar pagar. Tanpa menghiraukan kambing, aku menguber si kucing lagi dan lagi sampai ke arah persimpangan di depan lapangan kuning.

Nafas mulai habis, aku menyerah berlomba lari dengan si kucing. Air mataku kini mulai menetes melihat para kambing berlarian, dengan perut kembungnya seperti kekenyangan. Tambah lagi, si ketua kambing ikut berlari sambil menjinjing sepatu mahal milik Mommy. Mereka berlari serentak ke arahku seperti di acara pelepasan Banteng San Fermin, Spanyol.



Lalu tak berapa lama, aku pun... Blessshh.

“Dek. Kamu ngapain di situ?” Tanya seorang tetangga yang sedang membawa sayuran, sepertinya ia kasihan karena melihat kepalaku amblas ke dalam parit, sedangkan kakiku bergoyang-goyang terbalik ke atas. "Viva San Fermin!! Viva San Fermin!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya sambil kumur-kumur di dalam parit.

***

“Kyyaaaaaa bunga-bungaku!!!!” Tiba-tiba Mommy berteriak di depan pagar rumah. Aku dengan kepala hitam legam dan telah bercampur lumut parit, berlari ke arah Mommy. Selanjutnya teriakan Mommy semakin histeris. “Kyyaaaaa, mana sepatu miu-miuku!!!” 

“Mommy, maafkan Doni, tadi tuh si kambing datang, lalu...”

“Ya Allah anakku” Kata-kata terakhir Mommy setelah mendelik ke arah wajah legamku, padahal tadi aku ingin menjelaskan dari A-Z, eh, si Mommy malah duluan pingsan. Aku pun menepuk jidatku yang tertempel lumut, kepleset dah nih tangan.

Oleh keteledoranku sore tadi, malam itu aku kembali disemprot Mommy, tepat beberapa menit setelah ia sadarkan diri. Aku berlari masuk ke dalam kamar mandi, di bawah shower yang baru saja kunyalakan, aku menangis terisak-isak meratapi kepergian sepatu mahal ala ballerina kesukaannya Mommy. “Oh Tuhan.., kejamnya dunia ini.., hiks.. hiks..”.

Namun, kejadian yang mirip di film romance Korea itu tak berlangsung lama. Kini, sehabis mandi, aku menyusun stategi.

“Aku akan membalaskan dendamku pada si kucing dan geng kambingnya. Awas saja mereka!!” sambil melotot dan berapi-api ke arah cermin kamar, aku membatin seraya memakai bedak bayi ke wajahku, lalu aku loncat ke kasur dan langsung tidur.

Keesokan harinya,

“Mata pensil sudah tajam, check. Ketapel, check. Peluru batu, check. Tali marfia, check. Tali sepatu, check. Tas ransel, check!!”

Aku mempersiapkan diri di hadapan cermin sambil mencoretkan spidol hitam ke kedua belah pipi, agar terlihat serupa dengan Arnold Schwaisneiger dalam film predator.

Aku berjalan gagah ke arah lapangan kuning. Lalu, setelah memasuki pintu lapangan, aku melihat si kucing hitam sedang bertenggar di atas tembok, ia sedang tertidur pulas di atas sepatu miu-miunya Mommy. Di bawahnya, segerombolan kambing berbaring manja diatas tanah lapangan berwarna kuning.

“Mbeeeeekkkk” Teriak kambing yang menjerit kesakitan, aku berhasil menembakkan ketapelku dengan peluru batu, ohyeeeah, tepat di sasaran kepalanya. Kambing lainnya terbangun, termasuk si kucing. Mereka pun melihat ke arahku serentak dengan mata tajam.

“Heyyyyy kalian!! yang ada di sana!!!!” Teriakku dengan lantang dan bergaya mirip vokalis Kotak sedang menunjuk ke arah penonton.

Seketika, lewat seorang ibu-ibu, aku mendelik. Ternyata ia adalah tetanggaku dari lorong sebelah. Ibu itu terheran melihat gaya alayku, bisik-bisikannya tak terdengar sebab aku kembali fokus dan masih menunjuk ke arah musuh-musuh di sana.












Ketika si ibu sudah lumayan jauh, selanjutnya aku berkata kepada si kucing dan geng kambingnya, “Rasakanlah pembalasanku ini” Aku pun berlari sekuat tenaga dengan bola mata yang melotot dua senti ke depan.

-END-



0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer