Rumah ini seringkali sepi. Sepertinya duniaku bukanlah di sini.
Aku ingin menjelajahi dunia luar seperti yang ada dalam serial fantasi.
“My, Doni mau keluar sebentar ya”
“Enggak boleh Doni. Sebaiknya jaga rumah, nanti kalau ada apa-apa
bagaimana?”
Keesokan harinya......
“My, aku mau keluar. Rumah ini pasti aman kok My”
“Enggak boleh Don, kamu harus jaga rumah”
Beberapa hari selanjutnya..
“Mommy!!! I wanna go outside!! I feel like i’m dying in here”
“Enggak boleh!! Eh, kamu ngomong apa tadi Doni?”
Aku adalah seorang anak yang penuh imajinasi. Kalau aku ingin
pergi menemukan tempat yang rekomendit, jelaslah tempat itu seperti di dalam
film-film hollywood. Contohnya nih ya, aku suka bila berada di hutan kayak di
dalam film thriller yang settingnya alam, aku suka berada di tengah air
nan dalam, kalau bukan sungai ya pastinya laut, seperti dalam film
ikan raksasa atau hewan predator yang suka menyerang manusia di sana. Itu semua
kupikirkan karena emang wajahku yang tak luput dari kemiripan si mas Jhony Deep
atau om Tom Cruise.
Saat umurku 13 tahun, aku pun telah masuk ke dalam beberapa dunia
khayalan baru, bimbingan orang tua, dewasa, atau bahkan unsensored. Suatu
hari, aku ingin pergi ke dunia ntah berantah, apakah itu di gang sekolah,
warung remang, pemandian bola, atau ke tempat-tempat seperti yang ada dalam
film-film gengster. Saat udah siap dengan sepatu baru, pakaian baru, dan parfum
baru, Argghhh, Mommy tetap menyuruhku selalu tinggal di rumah.
“Doni, kalau bukan kita siapa lagi yang harus menjaga rumah ini?
Itu kambing seringkali masuk makan bunga-bunga. Kalau bukan Doni siapa lagi
yang kambing takuti?”
“My, emangnya Doni pawang kambing apa?”
“Doni!!!” Semprotan Mommy mengeluarkan hawa panas sambil
membengkakkan bola matanya.
Alasan lainnya pun bermacam-macam, jaga adik lah, jaga cucian,
jaga kucing, jaga kambing, sampai jaga sepatu-sepatu bermerek yang berjajar bak
puluhan prajurit majapahit. Aku yang rapuh akan semburan dari mulut Mommy ini,
selalu mengalah berada di bawah keteknya.
Selanjutnya, aku hanya berdiam diri di ruang TV dan kembali dengan
pulpen ditemani sebuah kertas gambar. Aku mulai menggambar apa saja yang ada
dalam khayalanku. Kepala Son Goku dan Conan adalah favoritku saat itu. Aku juga
ikut menggambar musuh-musuh mereka. Dalam pikiranku tercipta suatu alibi kasus
yang harus dipecahkan. Mulai dari anak hilang, perampokan, sampai kasus
nolongin kucing tersangkut di pohon,..biasalah, wong anak umur 13 tahun.
Sebelum bulu ketek Son Goku selesai dengan sempurna, aku mendengar
bunyi kaca pecah dari arah dapur. Sigap aku megangin pulpen dengan cara
berbeda, seolah siap untuk mengarahkan mata pulpen ke mata seseorang, seperti
di film-film, mata dibalas mata. Pertama terbayang olehku, seorang penyusup
membobol pintu masuk dapur dan ingin mencuri beberapa perhiasan di sana,
seperti gelas kristal atau mungkin juga piring nasi yang telah dicuci Mommy.
Kakiku kini melangkah dengan hati-hati.
“Siapa di sana?” Tanyaku yang disambut dengan beberapa suara
pecahan kaca.
“Dasar ternyata si kucing nakal, sini kamu!” Aku memaki-maki
kucing hitam kesayangan adik perempuan. Ntah kenapa ia bisa suka sama tuh
kucing yang warnanya mirip punyaemily and stranger. Anehnya, kalau adikku ada
di rumah, kucing itu selalu bertingkah seperti kucing-kucing berprestasi, atau
barangkali, pernah menjadi kandidat pergantian kucing antar negara. Sebaliknya,
jika keduanya berpisah bertautan jarak, eh, si kucing kerasukan setan.
Mataku melongok melihat piring dan gelas berhamburan pecah, lalu
aku mengambil sapu dan si kucing pun berlari dengan lincah ke sana kemari. Ia
mulai meloncat dan menyusup ke kolong meja, lalu berlari lagi ke arah tangga.
Aku mengubernya dengan susah payah sampai kakiku tersenggol dengan kaki kursi
kayu, “Aadddaaawww”. Ini adalah momen dramatis sepanjang hidupku dimana ujung
kuku bersikuan dengan kaki kursi kayu tajam.
“Kucing sialan!!!”
Si kucing sekejap berhenti di bordes tangga dan menoreh senyum ke
arahku. Ia terlihat tertawa kecil, Tiing, silau gigi taringnya ikut
menambah penderitaanku. “Meeaaaawwww” celotehnya lagi dibarengi ekor yang
melibas-libas.
Aku bangun sambil melepas genggaman dari jempol kaki, lalu menaiki
anak tangga dan menguber si kucing lagi dan lagi. Kucing itu meloncati dua anak
tangga sekaligus. Aku coba mengikuti gayanya namun kakiku ini melemah karena
kejadian nahas tadi, sial betul. Aku malah kembali terjatuh dan terbentur
tiap sudut anak tangga, terguling ke bawahnya. Setelah itu, aku mengeluarkan
seluruh tenaga, bangun lagi dan lagi, untuk bisa meraih anak tangga satu
persatu.
Kucing itu sudah tak terlihat. Aku masuk ke dalam kamar, melihat
ke arah kain gorden jendela yang melayang terbawa angin. Ternyata kucing hitam
itu telah kabur melewati jendela yang terbuka. Aku buka jendela dan melihat ke
arah luar.
“Semoga saja si kucing loncat ke bawah hingga jatuh ke parit” Aku
bergumam dengan wajah sinis.
Langit begitu hitam. Awan-awan mulai terlihat menggepul. Sesekali
bunyi geleduk dan dibarengi cahaya petir. Tiba-tiba....
“Mbeeeeekkkkk.. Mbeeekkkk” terdengar paduan suara milik musuh
terbesar Mommy. Ya, suara kambing yang kembali membuat hatiku geram.
“Hussssss... Hussssss...” Perintahku pada kambing-kambing setiba
di perkarangan bunga dan melihat mereka.
Ternyata oh ternyataaa, si kucing berada di antara
mereka sedang berbisik genit dengan si ketua kambing. Sontak aku kaget, “Hey
kucing nakal! sini kamu!” Lalu si kucing berlari ke luar pagar. Tanpa
menghiraukan kambing, aku menguber si kucing lagi dan lagi sampai ke arah
persimpangan di depan lapangan kuning.
Nafas mulai habis, aku menyerah berlomba lari dengan si kucing.
Air mataku kini mulai menetes melihat para kambing berlarian, dengan perut
kembungnya seperti kekenyangan. Tambah lagi, si ketua kambing ikut berlari
sambil menjinjing sepatu mahal milik Mommy. Mereka berlari serentak ke arahku
seperti di acara pelepasan Banteng San Fermin, Spanyol.
Lalu tak berapa lama, aku pun... Blessshh.
“Dek. Kamu ngapain di situ?” Tanya seorang tetangga yang sedang
membawa sayuran, sepertinya ia kasihan karena melihat kepalaku amblas ke dalam
parit, sedangkan kakiku bergoyang-goyang terbalik ke atas. "Viva San
Fermin!! Viva San Fermin!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya sambil
kumur-kumur di dalam parit.
***
“Kyyaaaaaa bunga-bungaku!!!!” Tiba-tiba Mommy berteriak di depan
pagar rumah. Aku dengan kepala hitam legam dan telah bercampur lumut parit,
berlari ke arah Mommy. Selanjutnya teriakan Mommy semakin histeris. “Kyyaaaaa,
mana sepatu miu-miuku!!!”
“Mommy, maafkan Doni, tadi tuh si kambing datang, lalu...”
“Ya Allah anakku” Kata-kata terakhir Mommy setelah mendelik ke
arah wajah legamku, padahal tadi aku ingin menjelaskan dari A-Z, eh, si
Mommy malah duluan pingsan. Aku pun menepuk jidatku yang tertempel lumut,
kepleset dah nih tangan.
Oleh keteledoranku sore tadi, malam itu aku kembali disemprot
Mommy, tepat beberapa menit setelah ia sadarkan diri. Aku berlari masuk ke
dalam kamar mandi, di bawah shower yang baru saja kunyalakan, aku menangis
terisak-isak meratapi kepergian sepatu mahal ala ballerina kesukaannya Mommy.
“Oh Tuhan.., kejamnya dunia ini.., hiks.. hiks..”.
Namun, kejadian yang mirip di film romance Korea itu tak
berlangsung lama. Kini, sehabis mandi, aku menyusun stategi.
“Aku akan membalaskan dendamku pada si kucing dan geng kambingnya.
Awas saja mereka!!” sambil melotot dan berapi-api ke arah cermin kamar, aku
membatin seraya memakai bedak bayi ke wajahku, lalu aku loncat ke kasur dan
langsung tidur.
Keesokan harinya,
“Mata pensil sudah tajam, check. Ketapel, check. Peluru
batu, check. Tali marfia, check. Tali sepatu, check. Tas ransel, check!!”
Aku mempersiapkan diri di hadapan cermin sambil mencoretkan spidol
hitam ke kedua belah pipi, agar terlihat serupa dengan Arnold Schwaisneiger
dalam film predator.
Aku berjalan gagah ke arah lapangan kuning. Lalu, setelah memasuki
pintu lapangan, aku melihat si kucing hitam sedang bertenggar di atas tembok,
ia sedang tertidur pulas di atas sepatu miu-miunya Mommy. Di bawahnya,
segerombolan kambing berbaring manja diatas tanah lapangan berwarna kuning.
“Mbeeeeekkkk” Teriak kambing yang menjerit kesakitan, aku berhasil
menembakkan ketapelku dengan peluru batu, ohyeeeah, tepat di sasaran
kepalanya. Kambing lainnya terbangun, termasuk si kucing. Mereka pun melihat ke
arahku serentak dengan mata tajam.
“Heyyyyy kalian!! yang ada di sana!!!!” Teriakku dengan lantang
dan bergaya mirip vokalis Kotak sedang menunjuk ke arah penonton.
Seketika, lewat seorang ibu-ibu, aku mendelik. Ternyata ia adalah
tetanggaku dari lorong sebelah. Ibu itu terheran melihat gaya alayku,
bisik-bisikannya tak terdengar sebab aku kembali fokus dan masih menunjuk ke
arah musuh-musuh di sana.
Ketika si ibu sudah lumayan jauh, selanjutnya aku berkata kepada
si kucing dan geng kambingnya, “Rasakanlah pembalasanku ini” Aku pun berlari
sekuat tenaga dengan bola mata yang melotot dua senti ke depan.
-END-
0 komentar:
Posting Komentar