“Gila.. Mereka menangis seketika berombongan menciumku. Debu-debu semakin betah berada di sekitaranku, hitamku kian berubah.” Seketika, cairan merah mengalir menyelimutiku sebagian. Kulihat mereka menggelepar sambil menyebutkan kata-kata.
“Tolong... Ampun Tuhanku”
Sengat terik terlalu buas melirik kediamanku. Angin yang tidak bekerja seperti biasanya, panasnya Ia semakin menjadi, menyapa dengan garangnya suhu menyentuh setiap lapisku. Aku hitam semakin tua. Aku keras namun lemah jiwa.
“Wahai Debu, apa salahku pada mereka, melintas tiada etika. Apa kau juga merasakan seperti yang kurasa. Aku yakin perasaanmu sama.”
Debu terdiam setiap kali aku bertanya. Ia persis seperti Awan putih yang enggan menyapa Langit. Aku tetap melihat berbagai tragedi aneh. Kala itu, setiap kali mereka-mereka, muda dan tua, menginjak-injak tubuhku yang legam ini, saling sikut tak beraturan sesuai dosa-dosa.
“Sudahlah, kau sudah terlalu lama mengoyak celotehan, tanpa sadar kau tak bekerja sama sekali. Tanyakan pada Angin yang terkadang membantumu.” Kicau Batu padaku.
Aku tak acuh soal itu. Seketika Angin yang sekali saja berbisik padaku. Mengingatkan sekilas memori. Saat itu, Tanah tampak basah berteriak karena derasnya titisan Langit tak manja berjatuhan diatasnya. Di pinggiran kota yang tadinya menerang, kini mulai menjadi pekat. Sorot lampu-lampu dari satu-satunya mobil melintas begitu lekas. Deru suara teriak Tanah, terkalahkan oleh derik tetes Hujan yang begitu keras.
Mereka-mereka menyadari kerisauan saudaraku, Tanah, saat itu. Aku dilahirkan setelah beberapa rupa samar yang tak elok menghiasi kota. Aku kokoh, memanjang menjadi hitam legam diatas punggung saudaraku.
Kini aku menua, aku merubah guna yang tak lagi harmonis dengan mereka. Belum pudar jua mereka mencela sesama. Aku kini merasa harus bergejolak pada setiap ratapanku. Aku tak lagi se-elok Taman di pinggiran kota, tepat disebelahku berada.
Aku tergelak seketika, hantaman keras dari segala benda. Sepertinya si Tua mulai marah.
“Hancurlah kalian.. wahai penghuni.” Terdengar amarah Bumi mengganas berulang-ulang, berirama konstan. Kini segalanya berantakan, tercabik dan bergetarlah Aku. Debu menemani bunyi-bunyi kerikil bergemelatakan.
Tiba-tiba Aku tersadar, aliran merah merubah warna legamku menjadi kepekat-pekatan. Di punggungku, bergelimpangan jasad-jasad mereka.
Aku yang telah lama sabar selama ini. Sementara Bumi seharusnya jauh lebih sabar daripadaku. Ternyata tidak seperti yang kupikir.
Mereka merasakan akibat dari semua dosa-dosa. Kini, segala sisi kota porak-poranda. Aku harap suatu saat, di hari-hari tuaku nanti, mereka terlahir kembali dalam etika yang lebih baik. Saat berada di atasku lagi.
***
Doni DaroyTulisan ini dimuat dalam buku anthology Cerpen; Saat Benda Berperan, 2013
0 komentar:
Posting Komentar