Popular Post
Loading...
Selasa, 17 September 2013

Stasiun Kereta Api #Tak kenal titik jenuh

00.30


Aspal di sekitar stasiun menerbangkan segala debu hingga singgah ke selah-selah jari jemari. Jari ini bekerja layaknya seorang kuli yang terus menumpukkan bata satu persatu. Kata demi kata hingga aku terbiasa menjelaskan maksud dari tulisan yang datang dari indera penglihatan.

Aku berada di pinggir aspal terminal, di depan stasiun KA Bandung. Menunggu jam keberangkatanku menuju Jakarta. Suara nyayian dari pengamen ekslusif terdengar dari warung kopi ini. Pengamen ekslusif berpakaian rapih dan berkaca mata hitam, bukan karena silaunya secarcik cahaya yang masuk ke dalam pupil mata. Mereka adalah kelompok pengamen stasiun yang memang tidak dapat melihat alias pengamen Tuna Netra. Namun mendengar mereka berkarya, aku merasa seperti berada di sekitar penyanyi-penyanyi kreatif Bandung lainnya, yang memiliki hampir kesempurnaan seorang musisi di kota kreatif ini.
Ruang tengah stasiun
Tidak sedikit yang sedang menunggu sepertiku, dan sedang melakukan segala macam kegiatan untuk menghilangkan kebosanan. Ada yang berjalan-jalan seraya memegangi segala gadget mereka. Ada yang sedang termenung masuk ke dalam bayangan masa lalu atau mungkin juga sedang memikirkan nasib masa depan.

Lantai berwarna kuning yang terus dihinggapi debu, menjadi sedikit tertutupi oleh kerumunan kaki para penumpang. Sosok seorang berseragam kemeja biru juga menjadikan lantai itu sebagai wadah pekerjaannya. Ia terus mengambil sebuah tongkat kayu yang diujungnya ada serabut berwarna hitam bak rambut-rambut penyanyi rock metal. Benar sekali, itu adalah sapu. 

Jalur pemberhentian kereta dari utara stasiun
Seorang lagi di dekat pintu masuk jalur-jalur pemberhentian utara, terlihat bertopi sama berwarna hitam, dengan seragam khas berkantong kotak-kotak ala penjaga keamanan alias security. Ia tetap menjaga keamanan, memberikan kenyamanan dan kepercayaan kepada para penumpang yang ingin menggunakan transportasi publik kereta.

Mereka, warga bandung, terlihat sedang tergesa-gesa seperti para semut yang bergegas mencari tujuan dimana gula berada. Stasiun Kereta Api ibukota pariayangan ini memang memiliki jam keberangkatan yang lumayan padat.

Jam di dinding terus berdetak. Suara bel peringatan keberangkatan melantunkan nada-nada indah. Para warga yang juga berusia muda hingga tua terus menggemakan nada ke segala ruangan terminal depan stasiun ini. Sesekali melintas suara keras yang menggambarkan jerih payah batu bara yang berubah menjadi uap ke atas tubuh kereta api, bersamaan dengan roda-roda baja yang bergesekan di atas rail, membuat suara khasnya begitu terasa dan menggetarkan frekuensi jantungku. Di balik kumpulan suara itu, yang paling nyaman bagi segala inderaku adalah bunyi dari satu dua tekanan dari ujung jariku yang menyentuh setiap tombol keyboard untuk menghasilkan setiap rupa perasaan.

Gerbong Eksekutif
Aku beranjak, melihat letak kursi keretaku. Mencarinya sedikit sulit. Aku bertanya pada petugas keamanan yang berdiri tepat di jalur-jalur pemberhentian kereta. Setelah itu aku langsung masuk ke dalam salah satu gerbong kereta Argo parahyangan menuju stasiun Gambir, Jakarta. Satu bagian di sini yang menarik perhatianku saat itu, kapten masinis kereta mencoba mengecek awak kereta serta memberikan arahan yang tegas. Di tempat duduk di tepi kereta aku pun langsung mengabadikan kegiatan rutin ini.

Kapten masinis kereta memberikan arahan

3 komentar:

 
Toggle Footer