Popular Post
Loading...
Minggu, 19 Mei 2013

Panas Dingin Rihlah "Awal Manis, Akhir Tragis"

11.08

Kala tiba di Aceh, pikiranku tak lepas dari acara Rihlah yang sebentar lagi diadakan di desa pinggiran kota Aceh Besar, yang lumayan jauh dari kota setibaku di sini, kota Banda aceh. H-1, teman FLP-ku,  Aslan, bertanya soal partisipasiku via sms. "Abang ikut?"

Aku membalas sederhana menyatakan "ya". Tanyaku lanjut. "Persiapan untuk besok apa aja Lan?".

"Bawa perlengkapan baju, bisa jadi perlu bang".

Setelah itu aku berfikir panjang kemungkinan-kemungkinan nanti secara jeli. Hanya butuh 1 menit kira-kira untuk berpacking.

Taraaaa... Tibalah malam. Aku rebahan rehat demi persiapan esok. Bismillah.

Jam 08.00 pagi. Aku bergegas bersiap menuju Rumah Cahaya (Rumcay), tempat berkumpulnya serdadu perang acara. Mereka para FLP'ers berjanji pergi bersama dari sana. Aku telah siap menggunakan sarung tangan ala bikers dan tas ransel ala backpakers, gagah sudah. Keluar rumah menuju garasi, raut wajahku mulai menggambarkan bentuk kecewa, kulihat sepeda motorku bertolak belakang sekali gayaku. Skuter Scoopy seolah tertawa menghina penampilanku, tak layak dicocokkan dengannya. Alah, besitan pikiran itu kuenyahkan. Toh, setiap perpaduan tema bisa jadi sebuah inovasi, hehe.

Kulajukan skuterku dengan kecepatan ramah, walau sekali lagi bisikan olok setan mempengaruhi kepedeanku, namun aku tak peduli sekali lagi.

Setiba di Rumcay, aku berlagak normal. Tak ada satupun yang menggubris gayaku, Alhamdulillah. Aslan wajah tertampan di rumcay saat itu (belum tampak wajah-wajah tampan selain dia, seperti Nazri, Munawar, Reza, Riri, dll).

"Oalah Lan, Aslan koq gak bilang-bilang mau pakai celana training" aku bersuara kecil padanya, takut wajah-wajah cantik FLP menoleh ke arah kami.

"Abang koq pakai jeans ya? hahahaa" Aslan hanya mengolokku, melihat tingkahku juga yang nyelingak-nyelinguk celana FLP'ers lainnya.

Setelah menunggu beberapa lama. Terkumpulah hampir seluruh serdadu yang akan menuju ke lokasi acara rihlah, Brayeung. Ya, pakai "G" di ujung. Awalnya kupikir hanya Brayeun. Maklum, kali pertama aku melihat pamflet yang menyerukan nama tempat salah satu rekreasi di daerah pinggir kota Aceh Besar.


Di perjalanan menuju desa Brayeung terasa biasa saja. Aku hanya tetap bergaya ala bikers dan juga backpakers, walaupun motor dan hati-ku selayaknya karet players, untung syukurku kembali memecahkan pikiran. Nah, setiba di sekitar kawasan rekreasi rihlah, mataku yang kerap menoleh sana-sini seketika berkendara, melihat ke sepanjang drainase yang melikuk mengaliri air jernih pegunungan. Ingin rasanya aku berenang menuju area utama, area kawasan Brayeung.

Kawasan utama rekreasi persis seperti sebuah bendungan minimalis, memiliki tangga-tangga terjal dan dapat diseberangi sejumlah kaki-kaki penikmat area. Perawan, bila kugambarkan lokasi rekreasi itu. Tapi masih ada beberapa site yang kurang dibenahi, seperti areal parkir yang sempit dan warung-warung merambat menjadi penghambat berjalan kaki.


Wajah-wajah tampan dan cantik FLP'ers tiba serentak. Kami melihat sebuah pondok yang pas menampung keceriaan rihlah nantinya. Aku dan Aslan berpisah persepsi sementara, dengan yang lain aku menyamakannya. Bersama Reza dan Nazri, cerita punya cerita kami mulai mencari suasana *Sensor*, labil.

Kejadian lucu di awal terjadi oleh pemilik wajah cantik bernama Nuurul Husna. Suara tubuhnya terjatuh di lantai licin berlumut dengan aliran air yang lumayan deras. Air dingin dari hulu gunung membasahi hampir seluruh pakainnya. Selanjutnya di tempat yang sama, korban kedua oleh salah satu pemilik wajah tampan, dia adalah Nazri, sedang membawa perlengkapan rekreasi. Saat itu sohibnya Reza tertawa terpingkal-pingkal, mengolok-olok temannya sendiri yang tengah menderita.

Memoriku kali ini menuju pada sebuah momen dimana kami -Pemilik wajah tampan dan cantik FLP- memasuki genangan sungai di area hulu sungai Brayeung. Bersama-sama meniup balon yang terisi air, di sesi game. Team pun telah dibagi. Semua meniupkan nafas ala Naga kedalam secuil lubang. Alhasil, sebuah balon besar satu persatu bermunculan. Bagi siapa yang meledakkan balon lebih awal, pujian akan diberikan. Fine, aku mengaku kalah, oleh sebab Phobia-ku terhadap tiup-menuiup balon sejak kecil.


Momen kedua yang kuingat adalah ketika kami menyewa boat seharga 20.000 rupiah/jam. struggling dengan secuil alat dayung membawa boat karet milik kami -para lelaki berwajah tampan- ke sungai nan dalam. Nazri ketakutan. "Aaaaampun woiii, bek meunan hai gam" Berlagak sok Nazri juga memberi alasan bahwa kakinya tak sampai ke dasar sungai, membuatnya tak bisa berenang, gak nyambung sob. Riri menyerukan olokan padanya.

Sebagai seseorang yang memiliki karier renang, aku sering berada di air ketimbang di atas boat karet itu. Hitung-hitung melepaskan kerinduan dan kekakuan otot sayap ku yang telah lama tidak berada di air.

Wajah-wajah tampan di atas boat pun tertawa terbahak dengan lelucon ntah hapa-hapa. Wajah-wajah cantik tak mau kalah, dengan boat karet yang berjumlah lebih banyak menyusul, memecah keheningan aliran hulu sungai.

Tiba waktunya rehat makan. Aku tetap ingin berada di air, ibarat ikan yang menggelepar bila berada di permukaan daratan. Ting, ideku muncul buat mencuri salah satu boat milik FLP'ers cantik. Ingin rasanya sekali saja, kudayung sendiri boat karet itu. Saat itu, Nariska ingin ikut bersamaku, juga termasuk Husna Linda AY. Okelah, kita bertiga berkeliling ria sama-sama.

Lirikan sebuah mata terlihat dari pondok, aneh. Ah, itu hanya mereka yang kasihan melihat kami (Aku. Nariska, Husna) telat makan. *Ingat kata Lirikan mata.

Nah, waktu terasa cepat berlalu. Tidak disangka kami telah masuk ke waktu berpisah dengan acara Rihlah dan desa Brayeung. Entah berapa lama kami berada di sana, namun seolah cepat mengakhiri cerita.

Setelah berbenah dan beranjak keluar area, Aku dan Aslan bercerita di atas skuter unyu-unyu milikku. "Abang tau gak? tadi kami bicarain abang pas naik boat sama Nariska dan Husna." Aku terkejut, tiba-tiba aku mengingat Lirikan mata di pondok tadi.

Lirikan yang mengartikan simbol kecurigaan yang lebih dari kewajaran, dari pemilik wajah tampan bernama Munawar. Ternyata ada sesuatu dibalik tatapannya. "Modus.. Moduss". Itulah celotehannya padaku di waktu tengah mendayung ria bersama kedua wajah cantik FLP itu. Seorang lagi, sebagai saksi mata, bercerita padaku lebih lanjut seolah itu dapat dijadikan sebuah cerita Novel laris di pasaran rumcay (pasar gosip).

Momen tragis lirikan mata itu tidak hanya berhenti sampai di situ. Si Empunya mata menuliskan curahan perasaan curiga di komentar facebook sepulang rekreasi. "Ah Biasalah, artis sedang digosipin" aku membatin.


 Indah di awal cerita tapi di ending tragis, sebab membicarakan tentangnya. Semua itu gara-gara ngeliat postingan di Grup FLP Malam ini. Peace Mas Bro.


10 komentar:

 
Toggle Footer