“Apa? Doni harus tinggal di kampung? Emangnya harus Mi?” Tanyaku via SMS yang saat itu hendak pulang ke Banda Aceh dari liburan di kota Medan.
"Iya, supaya Doni bisa silaturrahmi, kalau sudah di Jakarta nanti, mungkin lupa untuk singgah ke sana?” Umi membalas pesan dengan detail dan penuh makna.
Ketika itu, aku tertegun membaca balasan dari ibuku yang menahanku pulang. Mungkinkah ada hikmah setiap kaki melangkah. Batin ini membawaku ke sebuah dilema.
#Kampung Halaman Ibuku.
Di depan dua batang pohon pisang, aku menulis. Jika ditanya kenapa harus di situ, sepertinya tubuhku di perintah oleh hati yang kini merasa nyaman berada di tempat perasingan dari sekeliling keluarga besar.
Walaupun berada di sekeliling keluarga itu asing bagi pikiran dan hati, sebenarnya tidak bagi darahku. Inilah permukaan tanah dimana seorang bayi perempuan dilahirkan dulu sekali. Ya, darah ibuku tercipta di sini yang juga diturunkan untukku.
Segepul asap, Semilir angin sepoy-sepoy dan Setumpuk daun-daun kering, menjadi teman-teman sepermainan. Aku berbicara pada mereka seolah mereka membalasnya. Lalu aku tulis percakapan antara mereka bertiga. Mereka seolah tampak akrab, berbeda antara aku dan saudara sedarahku di sini.
Di pertengahan buku aku menulis cerita ini, merangkai kucuran kata dari hati. Aku terbentuk dengan rasa malu untuk menulis di halaman depan buku. Bukannya malu oleh rendahnya estetika, tapi malu bila ini terbaca oleh saudara-saudara. Dan pasti akan sulit ditemukan bila buku ini hilang dari bayang-bayang genggamanku.
Kesuraman di masa lalu kembali terbuka di benakku, yang merupakan lembaran-lembaran pengecapan seorang anak yang memprihatinkan. Di kondisi lain juga, lembaran putih semakin menjadi abu-abu yang bertajuk masa depan nanti. Kekhawatiran ini semakin menjadi saat mereka mempertanyakan berulang-ulang, mau dibawa kemana imbuhan gelar itu? aku menjawab seadanya asal itu menyenangi mereka. Malah Aku mulai khawatir sesuatu yang lain. Apakah mereka memperhatikan betul masa depanku atau hanya menimbangku sebagai anak dari adik-adiknya. Jerih payah seorang adik mereka yang harus dibalas sebab telah banyak membantu dulu. Inilah kondisi di Negeriku ini.
#Pikiran Seekor Kucing
Kepedulian dan keprihatinan itu sangatlah dekat maknanya, tidak produktif sama saja. Jika mereka sudah menanam kepedulian makan buanglah rasa prihatin yang muncul dengan hasil kosong. Aku bukannya juga ingin di-anak-emas-kan mereka.
Bila Umi melihat ini menjadi bangga, dan aku tahu persis itu. Namun, kesepian alam sadar ini tetap menghantui, membawa sejumlah tanda tanya bagi pikiranku. “Apalah arti hidup dengan melihat masa depan yang dicerminkan dengan masa lalu. Refleksi yang salah besar!” Kembali memori ini tak luput dari kejadian di saat Yudisiumku dulu.
“Haha, bang liat tuh ada kucing lewat di depan Dekan fakultas yang sedang pidato” timpal seorang teman yang duduk di samping bangku. Kami berdua dipisah 1 tahun leting kuliah. Saat itu, aku yang seksama mendengar pidato, dikejutkan olehnya yang menunjuk seekor kucing menjinjing makanan dalam mulutnya.
Aku sontak berfikir, “Mudah sekali Kucing itu mendapatkan makanan. Tanpa ragu nan santai lewat di tengah acara formal. Kucing oh Kucing.”
Apakah manusia bisa seperti itu. Kita tentu harus melewati masa lalu yang sangat sulit. Di masa kini kita harus mati-matian mencari sesuap nasi. Minimal harus mengikuti pendidikan selama 3 tahun. Itu pasti ataupun belum tentu ter-agreditasi.
Semakin menjadi pikiran ini terbawa sekilas tayangan di masa lalu. Kini, 5.5 tahun sudah aku berjuang agar terlahir kembali. Dengan nama yang sudah ada imbuhan dibelakangnya. Sebagai seorang sarjana baru.
Tapi dramatisnya, Apa guna bila aku sekarang masih berteman dengan tiga sahabatku di sini? Segepul asap, semilir angin sepoy-sepoy, dan setumpuk daun-daun kering.
Kuala Simpang, 16-05-2013.
Dodoydoni.
Mantap. Bang Doni udah kaya betul bahasanya ya tetap semangat.(h)(h) Yakinlah. Pasti ada jalan menuju kesuksesan. Bukankah itu sudah diatur sama ilahi :)
BalasHapusMakasi dara
HapusWow, keren tulisan ini (o)
BalasHapusSegepul asap, Semilir angin sepoy-sepoy dan Setumpuk daun-daun kering, menjadi teman-teman sepermainan. Aku berbicara pada mereka seolah mereka membalasnya. Lalu aku tulis percakapan antara mereka bertiga. Mereka seolah tampak akrab, berbeda antara aku dan saudara sedarahku di sini.
Lebay :D
Hapus