In the end, only kindness matters (Photo credit: SweetOnVeg) |
Dua Jam sebelum Pertandingan antara dua tim bola ternama,
Barcelona melawan PSG. Badar seorang
pecinta bola yang hanya pada level setengah jiwa, berada di sekeliling teman-temannya
berkumpul bersama menunggu munculnya siaran TV tempat berlangsungnya Big Match.
Badar yang keluar dari rumah sebelum ia berkumpul bersama temannya, membela-bela untuk tidak makan malam walaupun waktunya memang sangat telat disebut sebagai waktu makan malam biasanya, 22.00 WIB. Sesampai tibanya Badar di salah satu warung kopi di tengah kota, ia merasakan hawa dingin menekan raganya juga menggerogol perutnya seketika. Alhamdulillah saat itu, temannya Ibal sangat baik hati membawa sebuah nasi yang seharusnya disantap untuk sendiri. Namun, permintaan pembagian atas pangan saat ini telah menjadi trend atas kesepakatan yang rumit, yang dilalui sebelumnya oleh mereka teman-teman Badar.
***
Jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Badar tengah
mengulik-ngulik dunia maya melalui laptopnya. Teman-teman Badar sedikit lelah
menunggu pertandingan yang masih sekitar dua jam lagi dimulai. Suasana semakin
gelap mencekam oleh sebab segerombolan makhluk berterbangan di sekeliling kaki
mereka, tak lain tak bukan ialah Nyamuk, Tiba-tiba.
“Klak. Bleessssshh.. Zrrrrrrrrrrkk”. (Isyarat bunyi mati
lampu).
Benar-benar malam yang sangat rizkan akan munculnya virus
kegalauan bagi segelintir mahasiswa tingkat akhir, seperti Badar dan
teman-temannya. Tak hanya sebab mereka adalah mahasiswa akhir, namun oleh sebab
perkembangan atas isu-isu pemerkosaan akhir-akhir ini, maraknya bisnis haram
yang kontroversial diberitakan, maraknya produk unggulan baru dari produsen
smartphone atau tablet, juga atas beragam isu lainnya yang ditelan suasana
sunyi yang risih akan kericuhan obrolan mereka ditengah-tengah kegelapan bumi.
Begitulah
awal pemicu kegalauan Badar dan sejajaran temannya di meja panjang warung kopi
di malam hari, sebagai wakil pemuda yang menjiwai kesengsaraan korban atau
pelaku dari berbagai masalah-masalh tadi.
“Kenapa di saat aku galau harus mati lampu?”. Ibal berteriak
sambil menganga tepat di depan halaman situs jejaring sosial mantannya, ia tak
sadar mengumbar kegalauannya dengan kicauan yang nyaring.
“Kenapa di saat aku sedang memasang taruhan bola atas poin PSG
juga harus mati lampu?”. Sahut teman Badar lainnya di sudut meja sambil
memegangi sebuah tablet mahal , yang dibelinya dengan kemenangan judi bola jauh
sebelumnya.
Badar pun tak mau kalah mencoba berkicau di tengah kegelapan
malam. “Putus asa itu memang lebih baik daripada putus lampu”. “Putus lampu itu memang lebih baik daripada putus
cinta”. “Namun, putus asa berharap cinta Tuhan yang Maha Esa itu baru CELAKA ”.
Teman-teman Badar
mencoba menimpalinya dengan perkataan “Ustadz pun telah berkata, Yeee..LOL”.
Suasana pun menjadi semakin riuh melawan eksistensi sunyi.
Sebagai manusia yang hanya menyampaikan makna dari sebuah
analisa, merasa tidak cukup berhak untuk menyangkal celotehan temannya itu atas
dasar tujuan baik. Badar hanya berharap teruntuk hidup teman-temannya, “Indah itu
pada waktunya”.
-Bersamsung *Smartphone Fever*-
very nice... kagum banget dengan karyanya ;)
BalasHapus