Popular Post
Loading...
Rabu, 03 April 2013

Badar - Gang Ular Bukan Gang Manja

22.19

Pagi-pagi aku sudah terkulai lemas di bangku sekolah setelah berdebat dengan anak-anak yang sok hebat. Hasilnya membuatku susah untuk mengeluarkan nafas secara teratur. Parahnya lagi berakibat penusukan langsung ke dalam hati dan terus melahirkan renungan deras dalam hati.  Ya, aku benar-benar kehilangan gairah, lemas sambil menguncupkan dada.

 “Aku bukan anak manja !!”. Teriakku tertuju pada daun-daun telinga yang ada di belakangku. Daun-daun telinga panjang mirip telinga para Hobbit dalam cerita Lord of The Ring. Telinga itu sepertinya kurang sesuai dengan wajah yang sebenarnya tampan. Dan kuakui wajah itu juga sering dijadikan headline gosip bagi kaum perempuan di lingkungan sekolah.


Aku berlari menjauhi sumber masalah tadi untuk melepaskan energi negatif yang kudapatkan atas insiden itu. Insiden yang baru saja kualami di gang sekolah tepat disebelah ruang kelasku. Pertama kali berada di gang itu langsung membuatku mengalami insiden yang jarang kutemui. Gang itu sepertinya harus di beri rambu-rambu peringatan waspadalah atau awas terkena buli galak. Ya, tempat itu sering kali digunakan untuk meluapkan bermacam bahan olokan dan hinaan dari mereka yang sering mengerjai santri-santri cupu atau biasa disebut culun.
***

Aku bersekolah di salah satu pesantren yang populer dengan ajaran keislamannya, Pesantren yang bernama Darul Wustha di salah satu desa di kabupaten Aceh Besar. Sebenarnya aku mengakui bila ajaran islam di sekolahku itu memang sangat kental. Namun semua pandanganku pada sekolah ini kadang berubah ke arah berlawanan setiap kali melihat kejadian yang tak wajar dari anak-anak senonoh seperti tadi, kejadian lainnya seperti mengotori ruang wudhu atau tempat bilas, melawan ustadz atau guru, sampai-sampai mereka menggoda santriwati melewati batas-batas yang selapis dengan kemaksiatan.

Sebelum peristiwa-peristiwa itu kujumpai, Aku masih sangat menikmati hari-hariku dimana aku suka melamunkan kenangan indah masa lalu. Selain itu juga, seringkali saat aku pergi keluar lingkungan pagar pesantren, Aku tertegun melihat beragam kehidupan yang tidak seberuntung aku, saat mata tertuju pada arah pinggiran di jalanan. Banyak perbedaan dan kesenjangan antara hampir semua masyarakat di sini. Pandanganku terfokuskan pada puluhan tukang tempel ban, ramainya tukang sapu jalan, dan beberapa lainnya yang membuat rasa iba dan rasa syukurku atas rezeki yang sudah lebih dari cukup bagi keluarga.

***

Biasanya saat jam istirahat sekolah, aku sering berada di dalam kelas menunggu sampai bel berbunyi. Baru beberapa kali aku pergi kekantin dan membeli snack serta air minum lalu membawanya ke dalam ruang kelas. Terakhir kali aku mengurungkan niat bersemedi di dalam kelas untuk beranjak pergi ke kantin, aku mengalami peristiwa yang belum pernah terjadi.

Saat itu aku sedang jalan dan kebetulan bersampingan dengan salah satu anak populer di pesantren ini. Namanya Salim. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ia mencoba sok akrab denganku, merangkulku dan membawaku menelusuri suramnya gang sekolah. Padahal aku berencana masuk ke dalam kelas dan mencari tempat nyaman buat belajar atau baca buku pelajaran favoritku, matematika.

“Badar, Betul kan itu namamu?”. Salim langsung meletakkan tangannya mengitari pundakku

“Iya.”. Aku menjawab seadanya.

“Nama aku Salim”.

“Iya Aku tahu, kamu populer disini”. Aku memaksakan diri untuk memujinya.

“Oh, bagus kalau kamu tahu. Aku juga tahu kamu pasti senang bisa berteman denganku kan?”. Salim berbicara dengan luar biasa pede-nya .

Saat itu belum ada kata gaul seperti ember mana ember, jadi aku mencoba berekspresi seperti ingin muntah Bruuueekk. Itu pun sudah sangat keren di masa-masa sekolah dulu, di awal tahun 2005 lalu.
Kira-kira seperti itulah awal pertama aku mengobrol dengannya.

Selanjutnya di gang sempit itu Salim bertanya dan bercerita tentang hal-hal yang ada di luar jangkauan pikiranku, bertolakan dengan lingkungan kewajaran atau disebut bad society. Dari mulai merokok, pacaran, keluar malam, sampai hobi main gamenya di lantai dasar swalayan termegah di pusat kota Banda Aceh.

Benar-benar baru kutahu ternyata lingkungan sosial di pesantren ini sudah rentan akan hal-hal over lebay –melebih tahap kewajaran- semacam itu.

aku semakin mual dan ingin menghentikan pembicaraan ini. Aku pun memotong pembicaraannya, seketika Salim mengeluarkan ekspresi wajah sedikit sedih. Mungkin karena ceritanya yang belum masuk ke paragraf kedua. Padahal cerita di paragraf satu saja sudah bisa dijilid kalau Salim mau menuliskannya.

“Lim, asal kamu tahu ya, aku itu kalau keluar rumah cuma sampai sore. Itu pun kadang hanya sampai halaman depan rumah saja.”

Tiba-tiba Salim tertawa luar biasa membahana akibat statementku yang mirip seperti sebait curhatan, seketika beberapa jajaran santri nakal lain pun datang dan mulai mengitari Salim lalu bertanya, “Ada lelucon apa lim?”. Mereka mulai mengekspresikan perubahan wajah yang sudah dapat kutebak ending-nya bagaimana.

Mereka pun ikut menertawakanku sambil mengatakan “Ooo. Rupanya Badar ini anak manja. Huahahahaha”, mereka meloncat-loncat seperti sedang show topeng monyet dan mengitariku sambil mengacak-acak rambutku. Rambut yang rapi dan membelah ke arah samping menuju sisi kiri seketika berubah menjadi semak-semak hitam yang berkilat.

Saat itulah aku berlari menuju kelas tanpa mempedulikan mereka, Salim mencoba menahanku sambil tertawa terkikih. Aku menggeserkan badannya dan menekan gas kakiku di atas tanah. Lalu Aku memalingkan wajah ke arah mereka dan berteriak dari  jauh mengatakan “Aku Bukan Anak Manja!!”.


Enhanced by Zemanta

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer