Popular Post
Loading...
Minggu, 28 April 2013

Badar Si Anak Gang Ular

15.37

Di dalam Kelas, Suara serak basah namun lantang terdengar milik seorang Guru pelajaran ekonomi. Vocal suara Pak Muchtar mampu menenggelamkan suara miliknya Iwan fals saat menyanyikan lagu Bento. 

Hampir setiap beragam bentuk muka santri menganga tertuju padanya. Ada yang tertegun dan menajamkan alis sampai berkerut dahi. Ada yang tertegun sedang memikirkan sesuatu yang lebih asyik daripada siklus kegiatan ekonomi. 

Ada yang sedang tertegun sambil sesekali melihat ke bawah meja, ke arah layar yang telah penuh dengan serangkaian teks untuk dikirimkan kepada seseorang ditempat berbeda.

Sedangkan aku sedang mencatat poin-poin dari apa yang kudengar. Apapun itu. Bila Pak Muchtar sedang mengatakan kalimat panjang, aku menulis poinnya saja. Dan bila ada suara ketawa aku menggambar gambar bibir yang sedang tertawa disamping poin itu.

Begitulah caraku belajar sambil mendengar, tidak terlalu serius atau melulu lihat ke depan di tempat Pak Muchtar berdiri. Tempat yang sering ia gunakan untuk berceramah bukan untuk mencatat poin-poin di papan tulis.

Teman sebangku-ku, Badar. Ia memiliki kondisi mata yang tertegun sedang memikirkan sesuatu dan pasti bukan hal yang bersangkutan dengan ekonomi dalam imajinasinya. Badar sering diberi judgement oleh guru-guru kalau ia adalah anak yang kurang cerdas dalam belajar. Aku merasa heran dengannya, apakah ia memang memiliki pikiran berjangkauan pendek dengan sinyal yang kabur seperti saluran TV lokal.

“daaarr”.

“Oi Badarr”. bisikku padanya.

“Eh, iya. Kenapa sul?”, Badar tiba-tiba kembali pada kondisi normal. Matanya berwarna sedikit merah dan berair.

“Sedang mikir apa kamu?”. “Pasti mikirin Pak Muchtar kalau sedang memakai jilbab ya?”. Tanyaku spontan membuatnya tertawa.

“Huahahahaha”, Suaranya melantak dengan keras melaju dan membahana sampai keluar ruangan kelas, dan saat itu juga seluruh bentuk muka di dalam kelas yang tadinya menganga ke arah depan berpaling melihatnya.

Pak Muchtar memasang kuda-kuda dan melempar kapur yang biasanya hanya dipilin-pilin jarinya saja. Kapur itu dilayangkan tepat menuju jidadnya Badar.

“Arrghh, sakit oi”, Badar kembali mengeluarkan suara yang bernada tinggi. Ia sepertinya tidak menyadari bahwa ia telah menjadi perusak suasana sebenarnya dalam kelas.

“Aw, eh Pak Maafin saya pak”,

“Kenapa kamu ketawa? Hah !!”, Tanya Pak Muchtar yang sedang berjalan kearah kotak kapur di atas meja.

“Begini pak si Samsul tadi sedang mengganggu saya”.

Langsung saja aku menganga ke arah Badar. Kemudian berpaling melihat Pak Muchtar sambil menggeleng-gelengkan kepala mencoba mengatakan kalau aku tidak bersalah. Lalu Pak Badar mencari tahu sebab akibat yang pasti.

“Memangnya apa yang dia ganggu? Hah!?!”.

“Dia mengganggu saya sedang serius berfikir pak”.

“Berfikir apa?”. Tanya Pak Muchtar lagi padanya.

“Serius.. berfikir makanan di

kantin pak”. Nada suaranya sedikit turun dan wajahnya menunduk.

“Plok”. Bunyi suara pendaratan kapur yang sangat tepat berhenti di jidad Badar kedua kalinya.

Badar memang tidak suka berbohong. Ia salah satu murid jujur, tapi sayangnya ia malas belajar. Aku sangat menghormatinya. Terkadang aku sering menawarkannya untuk belajar saat jam istirahat. Walau beberapa kali ia berusaha menolaknya. Sampai-sampai aku pun bingung, sebenarnya yang seharusnya butuh itu syapa


Baca Juga :  Badar - Gang Ular Bukan Gang Manja
Enhanced by Zemanta

1 komentar:

 
Toggle Footer