Di
dalam Kelas, Suara serak basah namun lantang terdengar milik seorang Guru
pelajaran ekonomi. Vocal suara Pak Muchtar mampu menenggelamkan suara miliknya
Iwan fals saat menyanyikan lagu Bento.
Hampir setiap beragam bentuk muka santri
menganga tertuju padanya. Ada yang tertegun dan menajamkan alis sampai berkerut
dahi. Ada yang tertegun sedang memikirkan sesuatu yang lebih asyik daripada
siklus kegiatan ekonomi.
Ada yang sedang tertegun sambil sesekali melihat ke bawah
meja, ke arah layar yang telah penuh dengan serangkaian teks untuk dikirimkan
kepada seseorang ditempat berbeda.
Sedangkan
aku sedang mencatat poin-poin dari apa yang kudengar. Apapun itu. Bila Pak
Muchtar sedang mengatakan kalimat panjang, aku menulis poinnya saja. Dan bila
ada suara ketawa aku menggambar gambar bibir yang sedang tertawa disamping poin
itu.
Begitulah
caraku belajar sambil mendengar, tidak terlalu serius atau melulu lihat ke
depan di tempat Pak Muchtar berdiri. Tempat yang sering ia gunakan untuk
berceramah bukan untuk mencatat poin-poin di papan tulis.
Teman
sebangku-ku, Badar. Ia memiliki kondisi mata yang tertegun sedang memikirkan
sesuatu dan pasti bukan hal yang bersangkutan dengan ekonomi dalam
imajinasinya. Badar sering diberi judgement
oleh guru-guru kalau ia adalah anak yang kurang cerdas dalam belajar. Aku
merasa heran dengannya, apakah ia memang memiliki pikiran berjangkauan pendek
dengan sinyal yang kabur seperti saluran TV lokal.
“daaarr”.
“Oi
Badarr”. bisikku padanya.
“Eh,
iya. Kenapa sul?”, Badar tiba-tiba kembali pada kondisi normal. Matanya
berwarna sedikit merah dan berair.
“Sedang
mikir apa kamu?”. “Pasti mikirin Pak Muchtar kalau sedang memakai jilbab ya?”.
Tanyaku spontan membuatnya tertawa.
“Huahahahaha”,
Suaranya melantak dengan keras melaju dan membahana sampai keluar ruangan kelas,
dan saat itu juga seluruh bentuk muka di dalam kelas yang tadinya menganga ke
arah depan berpaling melihatnya.
Pak
Muchtar memasang kuda-kuda dan melempar kapur yang biasanya hanya dipilin-pilin
jarinya saja. Kapur itu dilayangkan tepat menuju jidadnya Badar.
“Arrghh,
sakit oi”, Badar kembali mengeluarkan suara yang bernada tinggi. Ia sepertinya
tidak menyadari bahwa ia telah menjadi perusak suasana sebenarnya dalam kelas.
“Aw,
eh Pak Maafin saya pak”,
“Kenapa
kamu ketawa? Hah !!”, Tanya Pak Muchtar yang sedang berjalan kearah kotak kapur
di atas meja.
“Begini
pak si Samsul tadi sedang mengganggu saya”.
Langsung
saja aku menganga ke arah Badar. Kemudian berpaling melihat Pak Muchtar sambil
menggeleng-gelengkan kepala mencoba mengatakan kalau aku tidak bersalah. Lalu Pak
Badar mencari tahu sebab akibat yang pasti.
“Memangnya
apa yang dia ganggu? Hah!?!”.
“Dia
mengganggu saya sedang serius berfikir pak”.
“Berfikir
apa?”. Tanya Pak Muchtar lagi padanya.
“Serius..
berfikir makanan di
“Plok”.
Bunyi suara pendaratan kapur yang sangat tepat berhenti di jidad Badar kedua
kalinya.
Badar memang tidak suka berbohong. Ia salah satu murid jujur, tapi sayangnya ia malas belajar. Aku sangat menghormatinya. Terkadang aku sering menawarkannya untuk belajar saat jam istirahat. Walau beberapa kali ia berusaha menolaknya. Sampai-sampai aku pun bingung, sebenarnya yang seharusnya butuh itu syapa
Baca Juga : Badar - Gang Ular Bukan Gang Manja
nice ;)
BalasHapus