Penilaian Bujang Dan Perempuan Berwajah Bulat
Rasa jijik terpancar oleh wajah bulat itu. Pengecaman dari raut wajahnya terasa tergesa-gesa masuk ke dalam hati.
"Apakah aku terlalu najis di matanya?". Pertanyaan itu terbesit di hati Bujang yang tengah merasa tertekan oleh kepicikan dan kemurkaan yang terbesit dari kelakuan seorang perempuan.
Kemurkaan dan emosi yang ia lihat, sama seperti halnya ketika si perempuan berwajah bulat itu melewatinya, seperti melewati kubangan kotor dengan gerak gerik meresahkan yang patut dihindar.
"Apakah ini yang dikatakan lingkungan kerja yang sehat?". Bujang bertanya dalam hatinya. Sepertinya ini adalah sebab-akibat oleh dirinya yang seolah seperti najis dan terlalu susah mencoba untuk berubah menjadi lebih baik juga bersikap sewajarnya.
Tapi tetap saja ia bergumam dalam hatinya, "Apakah aku terlalu idiot mau diperlakukan seenaknya saja?". Pertanyaan demi pertanyaan terlintas dalam pikiran Bujang. Bujang seolah menjadi manusia hina dalam sebuah lingkungan kerja saat itu.
Bujang mencoba menenangkan diri. Ia lalu mengambil sebuah kesimpulan, "aku membenci hal-hal dari keseluruhan wajah bulat itu. Mata, hidung, alisnya benar-benar merefleksikan hal-hal buruk, rasanya seperti sesak dada ini melihatnya".
"Jika itu maunya si perempuan itu, marilah kita saling berjauhan jarak, saling berhujatan, dan menjadi teman yang saling menunjukkan kemunafikan". Tambahnya lagi
***
Di pagi hari menjelang siang, tepat pukul 09.30 WIB. Jam di dinding rumah membuktikan bahwa Bujang sudah telat 30 menit pergi ke tempat kerja. Suhu udara di Kota terasa amat panas, cukup untuk menunda setiap gerakan si Bujang yang bergegas keluar dari garasi rumahnya. Rasa malas timbul di benaknya, sebab ia tahu sebentar lagi ia akan menjumpai insiden malang pertamanya di hari itu.
Saat tibanya Bujang di Kantor, Ia langsung dihadang oleh sosok perempuan dengan raut wajah setengah murka dan berbentuk bulat.
"Telat lagi kau Jang?, Apa kau bawa otak sebelum kau keluar rumah??". Perempuan berwajah bulat itu langsung mengumbar-ngumbar kesalahan si Bujang di depan rekan kerja lainnya.
"Ia kak, kalau aku lihat, kakak pun lagi sibuk". Bujang mencoba beralasan. Di dalam hatinya, rasa jijik mulai kian membara, tapi Bujang malah berlagak normal melerai emosi dihatinya.
"Alah alasan aja kau Jang. Kau bilang aku sibuk?. Sadarlah kau, kau itu masih junior di sini. pulang aja kau sana!!". Perempuan itu semakin ganas membentak-bentak membahana, meluapkan emosinya seperti lumpur Lapindo.
Hal seperti ini memang sering terjadi di kantor Bujang yang baru. Sebelumnya pun Bujang telah mengalami hal serupa. Sampai ia masuk ke dalam konflik yang lebih pedas dari hari ini, mulai dari hal-hal profesional si perempuan berwajah bulat itu yang tak becus yang hanya bisa memerintah dan selalu kelihatan paling pintar dan sok berjasa, hingga hal-hal kecil lainnya. Kemarahan si perempuan berwajah bulat itu dapat diluapkan begitu saja tanpa mengenal rasa tega .
Budaya kerja di kantor baru, sepertinya berlawanan dengan pengalamannya dulu. Saat itu, Bujang sudah pernah menjadi karyawan senior di kantor lamanya. Setelah beberapa tahun ia bekerja, ia lalu keluar dan fokus dengan kegiatan di kampusnya.
Bujang menilai kantornya yang sekarang minim akan ruang persepsi antar sesama, yang seharusnya menilai segala hal secara objektif. Rekan kerja yang ia miliki, seperti perempuan berwajah bulat itu, seolah sangat membatasi gagasan-gagasan baru dalam lingkungan kerja.
Ketika mereka - rekan kerja lainnya- memperbolehkan Bujang menggunakan fasilitas kantor, alih-alih tujuan mengembangkan diri, selanjutnya mereka malah menahan dirinya untuk menjadi pribadi yang menghambat perkembangan integritas karyawan. Bujang menilai bahwa di kantor barunya, keprofesionalan setiap senioritas masih dalam level rendah, juga dalam budaya yang kera saling mengecam pedas seperti teguran, kritikan dilakukan secara subjektif.
Pada Akhirnya, toleransi bujang pun sudah berada di luar batas kesabaran. Budaya kerja yang aneh seperti sekarang ini tidak sanggup lagi ia jalani. Ia keluar dari pekerjaannya setelah ia mengingat salah satu nasehat, "manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak dalam kerja". Begitulah prinsip hidup yang ia ambil dari nasehat salah satu mentor hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar